Kicau burung di pagi itu merupakan suasana
keseharian pagi yang damai. Matahari cemerlang menyinari desa kecil kami.
Menyusupi setiap relung pintu dan tirai. Menghangatkan setiap rumah dan kebun
yang mulai menampakkan geliat kehidupan. Sementara banyak orang telah keluar
dari rumahnya dan memulai kerja masing-masing, aku masih terlelap dalam
pembaringan. Rasa dingin telah menahanku untuk bangkit berdiri, bergerak
menapak hari. Hari ini termasuk ke dalam minggu-minggu terakhir musim gugur.
Udara mulai terasa dingin menembus kulit. Hangatnya kamar yang bersanding
dengan nyamannya ranjang seakan mengajakku untuk terus terbuai dalam lelap.
Sinar matahari mulai menyusup kedalam kamar, memberi sedikit kehangatan yang
sangat nyaman. Belum lama aku mengecap ketenangan itu, tiba-tiba aku merasa
tubuhku seperti didorong-dorong.
“Kak, kakak!! Bangun!! Dah pagi….!!”
Aaah…., ternyata itu Evelyn, adikku
satu-satunya.
Aku berpaling sejenak lalu kembali ke posisi
semula. Kugerakkan tangan kananku untuk mengisyaratkan dia untuk pergi seraya
berkata dengan nada malas, “Evelyn…. kau menggangguku… pergilah…”
“Tapi kak, Ibu menyuruh kakak untuk
bangun,” katanya dengan nada yang lucu.
Aku sama sekali tidak menggubrisnya dan
terus memberi isyarat padanya untuk segera meninggalkanku. Apa yang terjadi?
Dia menarik bantalku secara kasar hingga kepalaku terjerembab cukup keras di ranjang.
Aku tak mampu membayangkan bagaimana nasibku andaikata ranjangku tidak empuk.
Sebelum sempat ku bertindak, ia segera melarikan diri bersama bantal yang aku
gunakan.
“Evelyn…!!! Kembali…!!!” teriakku dengan
nada setengah kesal.
Aku berlari keluar kamar mengejarnya.
Kudapati bantalku tergelatak tak jauh dari pintu kamarku. Kulayangkan pandangan
ke depan. Evelyn berada di puncak tangga melingkar. Ia julurkan lidah
mengejekku kemudian berlari menuruni tangga.
Awas
kau ya, kataku dalam hati
dan dan segera ku mengejarnya.
“Evelyn…..!! Kemari….!!” Teriakku sembari
menuruni tangga melingkar. Kutabrak pintu elastis di ujung bawah tangga
tersebut yang sedikit terbuka. Ketika tiba di lantai dua, kudapati adikku sudah
jauh. Ia sedang bersiap menuruni tangga besar kelantai dasar. Aku heran,
sebegitu cepatnya dia berlari.
“Evelyn….!! Awas kau ya….!!!” Teriakku
kembali dengan sedikit terengah-engah. Kusebrangi lantai dua itu dengan cepat
hingga segera mencapai lantai dasar. Tiba-tiba aku berhenti. Ibuku sudah ada
dihadapanku dengan wajah tidak senang. Heran, sejak kapan Ibu ada disana? Dibaliknya,
Evelyn bersembunyi.
“Darimana saja kamu?! Jam segini baru
bangun!!” omel ibuku.
“Aaa….uumm..,” aku bungkam tak bisa
menjawab.
“Kamu tau ini hari apa?!”
“Emang hari apa, bu?”
“Hmm…?” Ibu mengernyitkan dahi. Segera aku
tahu apa kesalahanku. “Kamu ini bagaimana? Ini hari Zentanguise. Banyak
orang yang akan melancong. Kemungkinan
penginapan akan penuh. Kamu ini lupa atau kenapa, Iqdar??” lanjutnya dengan
nada yang lumayan turun dari sebelumnya.
Aku menunduk.
“Sudah. Cepat cuci muka dan kembali
kesini. Bantu Ibu mempersiapkan segalanya,” kata Ibu menutup pembicaraan.
Aku
berlalu dengan wajah menunduk. Belum jauh aku melangkah, sekilas aku mendengar
suara ‘weee…!!’ dari belakang. Aku berpaling.
“Heeey,
Evelyn. Jangan nakalin kakakmu lagi. Ayo ikut bantuin Ibu,” kata Ibu sembari
menggendong bocah itu.
Dalam
gendongan Ibuku, dia berpaling padaku. Ia julurkan lidahnya mengejekku. Awas
kau ya…!!, kataku dalam hati seraya mengepalkan tangan kearahnya. Dia
segera berpaling.
Aku melangkah dengan lunglai kembali ke
lantai tiga. Sialnya aku. Baru bangun sudah kena marah Ibu. Awas kau Evelyn. Satu-persatu
anak tangga melingkar tersebut kembali kususuri. Tangga tersebut merupakan
penyatuan dengan koridor utama penghubung lantai privat dengan lantai umum.
Lantai tiga tak lebih dari sebuah koridor yang pada sisi kirinya menempel
pintu-pintu kamar. Lantai koridor tersebut terbuat dari kayu, sedang dindingnya
terbuat dari batu kokoh.
Kuberjalan perlahan menyusuri koridor dan
berhenti sejenak tuk mengambil bantalku yang tergeletak tak jauh dari pintu kamarku.
Kembali kumasuki kamar hangat itu. Kutaruh bantal yang kubawa di ranjangku.
Sekalian merapikannya saja. Setelah membereskan tempat tidur, kudekati jendela
besar yang terlalui cahaya matahari itu. Kubuka gorden agak keras.
Kubuka jendela dengan perlahan dan wuss…, angin dingin masuk dengan segera.
Kuhirup udara segar dipagi hari sembari menikmati pemandangan gunung Irzinth.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, gunung Irzinth pagi ini kembali menampakkan
pesonanya. Hutan yang luas terhampar, air terjun yang terlihat dikejauhan, dan
yang paling utama, Puncak Cahaya yang mempesona sekaligus misterius. Tepat
disamping Irzinth terdapat gunung Feter dan diantaranya terdapat lembah Leodel
yang tidak kalah mempesonanya. Di lembah tersebut mengalir sebuah sungai. Lerhon
namanya. Tiap pagi khususnya pagi-pagi musim dingin, Lerhon bagaikan lelehan
kristal yang mengalir di lembah Leodel. Semua keindahan tersebut bersatu
menjadi panorama alam yang mengagumkan. Maka tak heran kalau penginapan Ibu
sangat diminati para pedagang atau petualang.
Kuberpaling
kearah meja tulisku. Disana masih tergeletak sebuah buku dan sepotong kertas.
Kudekati benda-benda tersebut. Kuambil selembar kertas tersebut. Syairku yang
masih belum lengkap. Kubaca pelan apa yang tertulis di dalam kertas tersebut.
Tak ada
lagi yang dibagi dan berbagi
Saat
hati mulai membuat batasnya
Membentengi
dari dunia nalar.
Membuat
suasana sendiri
dan tak
ada lagi yang bisa dibagi.....
Huff….., imajinasiku buntu. Kreativitasku
terhenti. Entah kenapa baru kali ini ku rasakan hal begini. Seakan ada kejadian
buruk yang menanti di seberang sana. Entah apa itu. Kudekati jendela kamar
dengan tetap membawa kertas tersebut.
Akankah
kedamaian ini hanya sementara? Akankah semua keburukan datang tanpa ada yang
mampu menghentikannya?
Segala pertanyaan berkumpul dibenakku. Aku merasakan firasat buruk yang masih
cukup samar tuk ditelusuri.
“Iii…hh,
kakak belum mandi, ya? Nanti aku bilangin ibu lho,” sebuah suara yang kudengar.
Sangat khas dan sangat kukenal. Aku menoleh kebelakang. Evelyn. Ia berdiri di
depan pintu kamarku yang telah terbuka. Wajahnya yang polos dan tingkah
polahnya yang lucu telah mampu membuat aku, Ayah dan Ibu tertawa karenanya.
Dialah adikku tersayang.
Aku
tersenyum dan menunduk, menatap kertas bertuliskan syairku tersebut. Kudekati meja tulisku dan kutaruh kertas
tersebut disana. Suatu saat nanti aku
akan menyelesaikannya, bisikku dalam hati. Segera setelah itu aku beranjak
mendekati pintu. Evelyn masih berdiri disana.
“Hei, Evelyn. Apa yang kau lakukan disini?
Bukankah kamu tadi diajak membantu ibu?” tanyaku padanya.
“Tadi ada seorang Paman yang datang. Dan
Ibu disibukkan olehnya,” jawabnya dengan nada yang lucu.
“Seorang
Paman?”
“Ya.
Paman itu membawa dua pedang dipinggangnya. Gak kembar sih tapi ukurannya sama.”
Pikiranku langsung melayang pada sosok
yang sering diceritakan Ayah padaku di saat usiaku masih teramat muda.
Seorang petualang hebat yang bersenjatakan
dua pedang. Satu-satunya petarung yang menggabungkan seni berpedang dengan
tarian. Gabungan kelembutan dan kekuatan. Pemain pedang yang sangat sulit
dikalahkan oleh siapa pun.
Benarkah petarung handal tersebut ada di
sini? Pikirku.
Segera ku berlari kebawah, kelantai dua.
Dan sebelum sampai di pintu elastis, aku turunkan kecepatanku agar tidak
terdengar kegaduhan saat membuka pintu tersebut. Dengan pelan, kubuka pintu
itu. Ku berjingkat perlahan agar mereka yang di bawah tidak menyadari
keberadaanku. Perlahan-lahan aku mengambil posisi tiarap dan segera merayap ke
pinggir balkon untuk melihat dan mendengar lebih jelas apa yang mereka
bicarakan.
Benar
kata Evelyn, pria tersebut menyandang dua pedang pendek di pinggangnya.
Kedua-duanya tidak tersarungkan dengan benar atau sarung pedangnya memang
seperti itu? Karena hanya bagian mata pedangnya saja yang tertutupi hingga
bilahnya terlihat dengan jelas. Pedang yang tersandang dipinggang kanannya
berwarna biru gelap dengan desain yang aneh. Gagangnya tidak terlihat karena
tertutup oleh tubuhnya, tapi yang pasti pedangnya melengkung di bagian
bilahnya. Sedang pedang yang tersandang dipinggang kirinya memiliki desain yang
sangat umum. Pedang dua mata yang bagian ujungnya panjang dan tajam. Namun
entah kenapa aku merasa ada yang istimewa dari pedang tersebut. Aku menangkap
sebangsa ukiran atau apa pun itu yang bersilangan pada permukaang pedang. Gambar tersebut terlalu samar untuk
diartikan karena jaraknya terlalu jauh.
“Apa yang paman itu bicarakan dengan Ibu,
ya?”
Aku kaget. Tiba-tiba Evelyn sudah
ada disebelahku. Sama-sama mengambil
posisi tiarap. Namun aku segera kembali menatap kedepan kearah pria tersebut.
“Paling dia hanya ingin memesan kamar,”
kataku menduga-duga. Karena memang itulah jawaban paling masuk akal di hari
ini.
“Tapi sepertinya mereka sangat akrab.
Seperti dua orang yang telah lama tak bertemu. Apa jangan-jangan paman itu
mantan kekasih Ibu?” tanyanya dengan nada polos. Aku kembali menatapnya. Dia
melanjutkan, “Apa mungkin paman itu ingin meminta Ibu untuk kembali padanya?
Lihat! Paman itu berwajah tampan. Dan tingkah Ibu pun juga aneh. Aku takut kalau
itu benar.”
Pandanganku kembali melayang pada sosok
berpostur sedang yang berdiri di depan meja penerima tamu. Wajahnya memang
cukup tampan. Aku benar-benar tak menyadarinya. Dan benar lagi kata Evelyn.
Perilaku Ibu aneh saat berbicara pada lelaki asing tersebut. Apakah mungkin dugaan Evelyn benar? Aku
akhirnya ikut terhanyut pada imaji-imaji adikku sendiri.
Tiba-tiba Ibu melangkah mundur lumayan
jauh dari meja penerima tamu. Sesaat setelah itu, dari arah pintu depan, datang
seseorang membawa pedang besar dan panjang di tangan kirinya. Wajahnya tidak
terlihat karena bagian bawah wajahnya tertutup kain. Sehingga yang terlihat
hanya matanya. Yang pasti orang tersebut berpostur tinggi besar seperti
Ayah.
Ia
mendekat setengah berlari kearah pria berpedang dua tersebut. Orang pembawa
pedang besar tersebut mengayunkan pedangnya hanya dengan tangan kirinya kearah
lelaki tadi. Lelaki itu menyadarinya dan segera menunduk dan menendang bagian
bawah meja penerima tamu hingga ia bergeser dengan mulus kebelakang dengan
tetap pada posisinya. Orang berpedang besar tersebut kembali bergerak kearah
lelaki tersebut dan mengayunkan senjatanya dari atas kebawah dengan kedua
tangannya. Lelaki itu bergerak dengan mulus kesamping. Pedang besar itu tidak
menghujam ke lantai melainkan berhenti beberapa senti dari permukaan lantai.
Sepertinya orang tersebut cukup kuat mengendalikan pedang besar tersebut.
Orang
itu mengayunkan pedangnya kesamping dengan menggunakan bagian punggung pedang.
Lelaki tadi meluruskan kakinya kedepan dan dengan memanfaatkan lantai kayu yang
agak mulus, ia bergeser kedepan sembari membaringkan tubuhnya kebelakang.
Pedang raksasa itu berdesing tepat didepan wajahnya. Orang penyandang pedang
besar tersebut memutar-mutarkan senjatanya dan kembali mengayunkannya. Lelaki
tadi kembali berdiri dengan tegak dan karena situasi tidak memungkinkan untuk
menghindar dia mencabut pedang birunya dengan cepat. Aku berpikir dia akan
menangkis serangan pedang besar tersebut dengan pedang pendek dan tipis itu,
suatu ide gila. Benar dugaanku, ia melakukannya. Tapi yang terjadi diluar
dugaanku. Pedang pendek melengkung tersebut berhasil menahan laju pedang
raksasa tersebut. Bahkan melontarkannya menjauh.
Orang
penyandang pedang besar tersebut terlihat tidak terkejut dengan kejadian itu.
Mungkin karena keterkejutannya tertutupi oleh kain diwajahnya itu. Namun ia
benar-benar orang yang sangat kuat. Dalam setiap ayunannya, tidak sedikitpun
terlihat rasa berat. Setiap ayunannya cenderung cepat, terkontrol, dan mengalir.
Dan kedua pedang pendek yang dipakai lelaki tersebut pun juga sama
luarbiasanya. Kecil, ringan, namun kekokohannya sangat luarbiasa. Dengan
senjatanya itu, dia menyerang dan menangkis serangan lawannya.
Pertarungan
itu cukup singkat. Mereka saling serang beberapa saat. Dan permainan adu pedang
pun diakhiri dengan ayunan mantap dengan dua tangan dari atas kebawah oleh
orang besar tersebut, yang disambut dengan silangan pedang pendek yang dengan
segera menahan lajunya. Pria penyandang pedang pendek memeperpendek jarak dengan
penyandang pedang besar. Kedua orang tersebut saling pandang untuk beberapa
saat. Lalu, lelaki berpedang dua mengatakan sesuatu yang aku tidak bisa
mendengarnya. Dan keduanya segera melepas kuncian pedang dan bergerak menjauh.
Orang pemegang pedang besar tersebut melepaskan kain penutup wajahnya. Ia
bersorak gembira. Tak perlu aku diberi tahu kalau dia adalah Ayahku sendiri.
“Masih seperti dua puluh tahun yang
lalu…..!! “Matlatar Sang Penari Pedang!!” Luar biasa!!!!” katanya seraya
mengacungkan ibu jari kirinya keatas.
“Kau
juga masih sehebat yang dulu, “Rijdald Sang Pandai Besi Legendaris,”” balas
orang bernama Matlatar itu.
“Jangan
kau panggil aku dengan nama yang sudah lama kubuang.”
“Sejujurnya,
aku selamat dari ayunan pedang raksasamu hanya karena pedang pemberianmu ini.”
Ia
mengangkat pedang pendek melengkungnya yang berkilau kebiruan tertimpa cahaya mentari.
“Ah…,
ya. Pedang ini,” ucapan Ayah terhenti. Dia mengangkat pedang raksasa itu hingga
sejajar bahu. Dan mengarahkan ujung pedang kesebelah kanannya. Ia melakukannya
dengan tangan satu!!
“Aku
baru mendapatkan pedang ini dari seorang pembeli yang mengeluhkan kualitasnya.
Aku merasa claymore ini sudah cukup
bagus,” lanjutnya seraya membolak-balikkan pedang raksasa tersebut. Pedang
tersebut memantulkan sebagian cahaya pada permukaannya. Terdapat garis hitam
yang tertanam di pembatas gagang dengan bilah, memanjang hingga ujung pedang
tapi tidak menyatu diujungnya. Garis hitam tersebut mengikuti bentuk pedang dan
memiliki jarak sekitar dua mili dari mata pedang.
Matlatar
mendekat sembari menyarungkan kedua pedang pendeknya.
Ayah
kembali melanjutkan, “Pembeli itu meminta sebuah pedang berkualitas tinggi.
Tidak mudah rusak walaupun dipakai bertarung dalam kurun waktu tiga setengah
tahun. Aku telah membuat seperti
permintaannya. Tapi mengapa ia kembali lagi dengan keluhan?”
“Aku
pun juga tidak melihat adanya kerusakan bahkan goresan pada pedang ini. Hmm…..,” kata-kata Matlatar terhenti.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Aku hanya penasaran dengan garis hitam
ini. Sudah pasti ini memiliki kegunaan , bukan?”
“Tentu. Kau boleh menebaknya apakah garis
hitam ini.”
“Aku tidak begitu mengerti dengan dunia
penempa batu mulia. Mungkin itu onyx?”
“Bukan. Ini adalah obsidian. Bahan ini
kugunakan sebagai sarung pedang. Bahan ini melindungi mata pedang dengan
sempurna.”
“Bagaimana mungkin bahan sekuat itu hanya
kau pakai sebagai sarung pedang? Dan lagi bagaimana caranya mencabut pedang
dari sarungnya yang telah menyatu dengan pedang tersebut?”
“Pertanyaan pertama memiliki jawaban yang
lumayan panjang. Sedang pertanyaanmu yang kedua hanya masalah mekanisme,” Ayah
berkata begitu seraya merubah pegangannya terhadap pedang besar tersebut
menjadi tangan dua dan memposisikannya didepannya. Ia seperti menekan
sesuatu dan dengan cepat garis obsidian tersebut menyatu dengan mata pedang.
Lalu Ayah mengembalikannya seperti semula.
“Oh,
dengan begitu obsidian dapat berfungsi juga sebagai mata pedang?” Tanya
Matlatar.
“Yah,
begitulah teorinya,” jawab Ayah sembari tersenyum.
Aku
terus menatap mereka berbincang. Sangat
banyak pertanyaan terkumpul dibenakku. Ingin rasanya aku segera kebawah dan
ikut berbincang bersama mereka. Tapi aku takut keberadaanku diketahui Ibu.
Kulihat orang bernama Matlatar itu mencabut pedang pendeknya yang memiliki
ujung yang panjang dan runcing. Ia memperlihatkannya pada Ayah.
“Nama pedang ini adalah Cerberus. Ini merupakan pemberian
seorang kawan yang juga pandai besi di ibukota. Dia mengatakan bahwa ini adalah
karya terbaiknya,” katanya menjelaskan pedang tersebut.
“Hmmm…., desainnya cukup umum. Aku hanya
melihat keseuaian namanya dengan pembatas gagang dengan bilah, tergambar kepala
tiga anjing penjaga dunia bawah. Apakah hanya ini ke…..,” kata-kata Ayah
terhenti ketika ia melihat bagian mata pedang tersebut. “Seperti ada celah
kecil disini. Apa fungsinya?” tanyanya pada Matlatar.
Matlatar menunjukkan sesuatu pada bagian
pembatas pedang tersebut. Entah apa yang dilakukan Ayah. Namun tiba-tiba dari
kedua mata pedang keluar pengait baja yang desainnya cukup mengerikan. Pengait
baja tersebut sangat rata dan pada puncaknya terdapat bentuk-bentuk seperti
duri yang tajam namun berstyle. Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya tubuh seseorang yang tertembus pedang
tersebut, dan sebelum penggunanya mencabut pedang tersebut ia keluarkan kait
baja, baru setelah itu menarik pedang tersebut dari tubuh korbannya.
Mengerikan!!! Satu kata yang muncul dalam benakku
ketika melihat pedang tersebut.
Aku berpaling kekanan dan kudapati Evelyn
sudah tidak ada disebelahku. Kudengar gelak tawa dari bawah, dan aku kembali
berpaling pada Ayah dan sahabatnya tersebut. Oh..!!! Aku kaget. Evelyn sudah
ada disana. Bertingkah polos dan sok lucu dihadapan sahabat Ayah tersebut.
Tiba-tiba aku merasa keberadaanku disana terancam. Aku bersegera bergerak
mundur dengan tetap mempertahankan posisi tiarap. Saat kakiku menyentuh
dinding, aku segera berdiri perlahan-lahan dan berjingkat kembali kepintu
elastis tersebut. Namun sebelum aku sempat masuk ketangga melingkar, kudengar
Ayah berteriak memanggilku.
“Iqdar…!!! Kemarilah…!! Ayah tau kamu ada
disana….!!!”
Oh, gawat. Aku tidak bisa berpikir jernih.
Di satu sisi aku ingin memenuhi panggilan Ayah, tapi di sisi lain aku takut
pada Ibu. Tidak menguntungkan andaikata aku turun kebawah menemui mereka
sekarang. Maka aku segera berlari keatas melalui kembali tangga melingkar
tersebut. Entah apa yang akan dikatakan Ayah nantinya, yang pasti aku tidak mau
melihat wajah Ibu yang kesal dan menerima hukuman darinya.
Aku kembali kekamar dengan sedikit
terengah. Kupejamkan mata sembari mencoba mengatur nafas. Oh, suatu pengalaman
yang tidak biasa. Setelah nafasku kembali teratur, kuberjalan kearah kamar
mandi untuk menyegarkan tubuhku.
Hari
ini hari baik. Liroyne tersenyum padaku, ucapku dalam hati.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar