Oleh: Faaiz Algar
Aku terduduk sendiri dalam suatu ruangan. Ruangan tersebut berdindingkan beton dan beratapkan beton tanpa cat. Sebuah lampu bohlam sederhana tergantung pada sebuah kabel agak besar dilangit-langit. Dihadapanku berdiri sebuah pintu besi dan tak jauh darinya terdapat meja kayu dilengkapi dengan kursi kayu. Diatas meja tersebut terserak kertas-kertas lusuh yang tersinari lampu meja. Aku duduk diatas sebuah dipan besi yang dilapisi kasur tipis berseprai kusam. Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan nyaman disana. Sementara suara-suara ramai terdengar agak samar meresap dari beton-beton yang melingkupi ruangan tersebut.
Tiba-tiba pintu besi didepanku terbuka. Seorang serdadu bersenjatakan Steyr AUG1 berdiri disana. Dadanya terlindungi rompi anti peluru dengan helm Kevlar menutupi kepalanya. “Kumpulkan barang-barangmu! Kita harus segera angkat kaki dari sini!” seru serdadu tersebut.
Aku segera beranjak sembari mengambil tas yang tergeletak di lantai tak jauh dariku. Kubereskan kertas-kertas yang tergeletak dimeja dan satu-persatu kumasukkan ke tas kulit lusuhku tersebut. Melihat semuanya beres, serdadu tersebut menganggukkan kepalanya kearahku dan segera meninggalkanku. Aku segera mengikutinya, bergegas keluar.
“Segera berlari setelah pintu terbuka,” ujar serdadu tersebut di tengah prjalanan menuju pintu keluar, wajahnya menyiratkan ketegangan. “Berlarilah kearah NAB.2 Kami ingin kau segera mengakhiri semua kekacauan ini.”
“Bagaimana dengan kaum gerilyawan?” tanyaku.
“Mereka sudah sampai. Tinggal menunggu sinyal dari kami saja,” jawabnya.
Kami mendekati ujung lorong. Setelah melewati tikungan kecil, terlihatlah sebuah undakan yang berakhir di sebuah pintu besi yang terlihat kokoh. Serdadu tersebut berjalan dahulu dan segera memutar roda pengunci pintu. Bunyi klik terdengar dan pntu tersebut terbuka sedikit. Suara ramai diluar segera menelusup masuk dan memantul di dinding-dinding koridor.
“Ingat! Lari, begitu pintu terbuka!” seru serdadu tersebut mengingatkan.
Aku mengangguk padanya.
Secara perlahan, serdadu tersebut membuka pintu. Angin debu menyeruak masuk diiringi dengan deru suara tembakan dan ledakan. Kulindungi mataku agar tak terkena debu yang berputar-putar masuk dari celah pntu besi tersebut. Serdadu itu segera keluar dan menembakkan senjatanya kearah kanan pintu. Suasana tersebut cukup membuat kakiku kaku dan jantungku berdetak cepat.
“Lari!!” seru serdadu tersebut sembari terus menembakkan senapannya kearah musuh.
Mendengar seruannya, refleks aku berlari keluar. Bising suara pertempuran segera menghantam gendang telingaku. Aku terus berlari sembari menyipitkan mataku agar tak terganggu oleh tanha dan pasir yang beterbangan. Aku melihat bangunan kerdil sekitar dua puluh lima meter didepanku. Itulah tujuanku. Suara bising benturan peluru memaksaku memalingkan muka kekanan sejenak. Garis pertempuran terlihat disana. Beberapa bangunan telah rata dengan tanah. Ledakan-ledakan terlihat disetiap tempat. Namun semua itu tak dapat menarik pandanganku. Hanya satu hal. Yaitu sebaris debu yang berlontaran mendekat. Ciri khas tanah yang sedang tertembak. Mataku segera kembali menatap kedapn untuk mencari tempat berlindung. Tak jauh kulihat ada sebuah batu yang lumayan tinggi didepanku. Segera ku berlari kesana.
Sementara suara bising peluru yang mengejarku semakin dekat. Segera ku berguling kedepan dan berjongkok dibalik batu. Aksi yang tepat. Peluru-peluru tersebut mengenai permukaan batu yang satunya. Aku menintip sedikit untuk melihat keadaan. Terdapat empat menara yang dilengkapi senjata mesin berat. Tiga diantaranya menembaki tebing yang ada dibelakangku. Dan yang satunya, yang tegak lurus dengan batu yang kujadikan tempat bersembunyi mengarahkan moncong senapannya padaku. Aku segera menunduk dan dalam waktu tak sampai sedetik, batu tersebut bergetar diiringi suara bising ratusan peluru yang memberondongnya.
Dan disaat keputusasaan mulai menghinggapi hatiku, tiba-tiba terdengar ledakan dari arah langit. Refleks wajahku mendongak. Disana terlihat kembang api yang bersinar terang. ‘Sinyal’. Kuikutu asap luncuran yang mulai menghilang. Ekornya berakhir di pintu besi yang tadi kulewati. Serdadu tersebut berlindung dibalik pintu besi yang masih terbuka lebar sembari memegang pistol sinyal di tangan kanannya. Tak lama terdengar suara-suara roket yang diluncurkan dari puncak tebing. Wajahku bergerak otomatis kearah datangnya suara. Beberapa orang berpakaian biasa memanggul pipa besi sembari berlindung di balik bebatuan bukit tersebut. ‘Kaum Gerilyawan!’ secercah harapan kembali bersinar dalam hati. Serta-merta, kembali kulangkahkan kaki dengan cepat menuju bangunan kerdil tersebut. Silih berganti, roket-roket diluncurkan kearah para penyerang. Sepertinya senjata-senjata mesin tersebut sudah berhenti. Aku tak ada keinginan untuk melihat keempat menara tersebut. Perhatianku focus kepada bengunan tujuanku tersebut.
‘Sedikit lagi…,’ ujarku bersemangat.
Tiba-tiba… Jrassh!!!
Sebutir timah panas menembus betis kananku menyebabkan tubuhku oleng dan jatuh tengkurap. Rasa sakit mengalir dari lubang tembakan keseluruh tubuh. Aku mengerang. Tak berdaya. Aku mencoba untuk kembali berdiri, namun kembali. Sebutir lagi melesat menembus kaki kiriku, menyebabkan kakiku terasa seperti keram. Tanpa sadar kuarahkan pandanganku ke sudut garis pertempuran. Disana terlihat seorang bersenapan laras panjang sedang mengarahkan senjatanya kepadaku. Pakaiannya begitu sempurna berkamuflase dengan lingkungan sekitar. Namun tiba-tiba sebatang roket terbang menghampirinya. Sosok tersebut segera beranjak. Tak lama, tebing tempat sosok tersebut bersembunyi segera dihantam roket dengan keras. Aku hanya bisa pasrah. Sinar harapan itu sirna seketika.
“Hei! Kau tak apa-apa!?” sebuah tepukan lembut dibahu membuatku memalingkan muka kesamping.
Serdadu yang ada di pintu besi tada sudah berjongkok disana. Aku hanya tersenyum lemah kearahnya. “Bisa kau bawa aku ke mesin itu?” tanyaku.
Dia mengangguk cepat. Segera tubuhku diangkatnya dan tak lama aku sudah berada dipunggungnya. Popor senapannya menyentuh luka tembak yang berada di kaki kananku, membuatku mengerang kesakitan.
“Tahanlah!” seru serdadu tersebut. Dia segera melesat maju. Peluru-peluru berdesingan di sekitar kami. Kaum gerilyawan tak henti-hentinya menembakkan senjata-senjata yang mereka miliki untuk melindungi kami. Namun bagaimanapun persediaan amunisi mereka tak sebanding dengan musuh yang tak henti-hentinya menembakkan berbagai peluru kearah mereka.
Tak lama kami sampai di bangunan kerdil tersebut. Serdadu itu berlari kebelakang bangunan tersebut, menendang tingkap besi dengan keras, dan melemparkan senapannya kedalam. Bunyi yang dihasilkan lumayan keras di dalam sana.
“Aku akan masuk lebih dahulu untuk menangkapmu di dalam!” serunya sembari menurunkanku. Ia segera merangsek masuk. Bunyi berdebam sepatu larsnya segera terdengar. “Sekarang giliranmu!” serunya di dalam.
Aku menggeser tubuhku sedikit demi sedikit sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Kuhempaskan tubuhku masuk kedalam lubang ventilasi tersebut dan TAP! Serdadu tersebut berhasil menangkapku. Ia segera menurunkanku.
“Sebelumnya kita harus menahan pendarahanmu dulu!” serunya sembari membuka backpacknya dan mengeluarkan gulungan perban dan sebotol morfin. Dengan cepat ia membereskan semuanya. Rasa sakit di kedua kakiku lebih berkurang dari sebelumnya. Hanya tertinggal denyutan-denyutan kecil yang tidak begitu menyakitkan. “Engkau akan kembali kugendong agar kita bergerak lebih cepat.”
“Tak perlu,” ujarku. “Kita sudah dekat. Panggul saja aku kesana.”
Iya mengangguk cepat dan segera memanggulku. Tak lama kami sampai di ruangan yang agak besar. Di sebagian sudutnya terdapat kotak-kotak saklar pembangkit tenaga.
“Dudukkan aku di dalam benda itu,” pintaku sembari menunjuk pada sebuah sosok besar yang sedang berlutut di tengah ruangan tersebut. Ia segera melaksanakannya. Agak susah payah ia menaikkanku ke benda besar tersebut. Namun usahanya berhasil juga. Sungguh serdadu yang baik.
Segera setelah sampai cockpit, aku tak membuang-buang waktu. Segera kuoperasikan benda tersebut. Satu-persatu fungsi kunyalakan. Ia mulai bergerak dan menyala. Ruangan tersebut segera terang oleh lampu-lampu yang banyak tertempel di dindingnya. Suara khas mesin menyala sudah terdengar, ini tandanya elevator sudah bisa dioperasikan. Hitung mundur pengoperasian elevator telah dimulai. Tak lama serdadu tersebut kembali.
“Baik, apa yang harus kulakukan selanjutnya?” tanyanya.
“Pegang kendali gerak,” ujarku tenang. “Duduklah di kursi di depanku ini”
Ia segera melakukannya. Segera kufungsikan perisai berkepadatan tinggi di ruang udara disekitar benda ini. Sementara serdadu tersebut memposisikan duduknya sepas mungkin dengan alat-alat yang ada disekitarnya, aku mengoperasikan fungsi gerak.
“Pakai goggle itu,” perintahku. Segera ia menurutinya. “Tahan sedikit. Ini agak sakit.”
Tak lama, serdadu tersebut mengerang tertahan. Fungsi gerak sudah terhubung dengan system saraf kaki serdadu tersebut. Saatnya memfungsikan meriam. Elevator bergerak naik perlahan. Sinar matahari segera terasa secara perlahan sirami segala kegelapan yang temaram. Deru pertempuran segera terdengar jelas. Sementara perisai telah diaktifkan, serdadu tersebut berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti pada mikropon kerahnya. Dan tak lama, suara tembakan dari atas tebing menghilang segera. Tak ayal seluruh tembakan segera diarahkan kepada kami berdua. Namun ketebalan perisai yang melingkupi benda ini memberi perlindungan yang tak tertembus. Mereka tak henti-hentinya memuntahkan pelurunya kepada kami. Segera setelah peluru biasa tidak mempan, mereka lepaskan roket-roket kearah kami. Getaran yang dihasilkan cukup membuat benda ini bergetar sedikit tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti.
“Aktifkan penahan goncangan!” seruku.
Benda tersebut bergerak. Ia menjadi memendek sedikit.
“Penahan goncangan aktif!” seru serdadu tersebut.
“Gerakkan meriam hingga mencapai angle yang tepat!”
“Angle tepat! Meriam terkunci!”
“Pelapis anti-efek ionisasi diaktifkan! Saatnya!”
Satu tombol kutekan. Dan lengan meriam yang terdiri atas delapan moncong di kanan dan kiri benda tersebut memuntahkan pelurunya secara beruntun. Getaran hebat segera terasa. Peluru-peluru tersebut berjatuhan pada garis pertempuran diiringi suara ledakan yang dahsyat sembari melepaskan neutron-neutron keudara. Sinar terang menyilaukan segera tercipta dihadapan kami. Dalam sepuluh menit, sinar terang tersebut secara perlahan menghilang. Medan tempur kembali sepi. Mayat-mayat prajurit musuh terlihat bergelimpangan dikejauhan. Senjata-senjata mesin dan kendaraan-kendaraan tempur yang baru saja datang berhenti begitu saja. Angin berhembus. Senapan-senapan jatuh dari tangan tuannya. Hewan-hewan tak ada yang keluar. Tumbuhan. Semuanya teronggok…mati….
“Yohooooo……!!!” sorak serdadu tersebut sembari mengangkat kedua tangannya keudara.
Sedangkan aku. Aku hanya diam melihat efek yang sudah dapat kuramalkan ini. Sejak pertama aku tidak ingin melihat senjata ini dalam aksinya. Namun hari ini aku tidak memiliki pilihan selain melihat segala yang kutolak ini. Puas? Aku hanya budak ambisiku sendiri. Untuk itulah aku membawa benda ini kemari. Agar dapat kujauhkan dari tempat tinggalku dan dari pandangan mataku. Sekali untuk selamanya…
1 Salah satu varian senapan serbu dengan magazine di bagian popor senapan.
2 Neutron Artillery Barrage (NAB) – Penembak Beruntun Artileri Neutron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar