So, terinspirasi dari Back To The Future series, game Sin of the Solar Empire, dan seri fiksi ilmiah Fringe, saya memulai seri baru.
Judulnya mirip sama temanya: "Semesta Paralel", ato bahasa kerennya: "Parallel Universe"
Sebetulnya banyak juga orang yang buat seperti ini. Tapi kemudian, yah dicoba aja lah. Itung2 belajar. :-)
So, gak usah nunggu lama2 lagi!
Selamat membaca!! ;-)
"Real Me"
Semesta Paralel
Ch. I
2035
10
Agustus 2011
15.30
WIB
Segala
tugas dan ujian sudah terlewati. Huaaaahhhh….., badanku sangat lelah rasanya.
Penat. Letih. Terlebih sekarang sudah masuk hari kesepuluh Ramadhan.
Penyelesaian tugas di tengah puasa sangat menyiksa…., uuuuufff……t! Siang ini
sukses sudah pengumpulan tugasku. Jerih payah yang panjang terselesaikan dengan
sempurna. Hemmm…., PUAS!!!
Semenjak
dari kampus tadi, kuhabiskan waktu siangku dengan tidur pulas. Walaupun cukup
panas juga siang itu. Namun…….PUAS!! Tidur sepanjang siang? Apa kamu tidak
sholat? Pertanyaan itu yang muncul di benak kalian kan? Haha…, walau mepet, aku
masih sempat melaksanakan sholat zhuhur, tadi.
Waktu
buka masih dua setengah jam lagi. Kepalaku agak pening. Beberapa hari yang lalu
aku sempat sakit, dan hari ini sebetulnya aku masih belum begitu fit. Sore ini
keliatannya masih mengandung panas siang tadi. Jalan-jalan santai sepertinya
tidak ada salahnya. Aku segera bergegas berpakaian. Pening kepala agak enakan
kalau jalan dibawah panas matahari. Hmm…., pakai jaket sepertinya gak ada
salahnya juga. Biar lebih HOT!!
16.00
WIB
Aku
sampai di perempatan Milo. Perjalanan kemari cukup menyenangkan walaupun aku
cuma berjalan sendirian dan tentu, senantiasa ditemani asap knalpot. Wew,
peningku sedikit berkurang. Panas badanku terasa naik dan keringat berleleran.
Aku cukup nyaman dengan semua ini. Di sudut persimpangan Milo, aku melihat
sekeliling. Menikmati keramaian sore hari dengan senyum mengembang. Pandanganku
terhenti pada jembatan penyebrangan yang melintang tepat di sebelah kiriku.
Sepertinya naik kesana dan menikmati angin jalan tidak ada salahnya.
Satu-persatu
tangga kayu kunaiki. Deritnya menandakan bahwa umurnya telah tua. Beberapa
lubang terlihat di beberapa tempat di tangga tersebut. Menuntutku untuk ekstra
hati-hati dalam menaikinya. Derit-derit kayu menghiasi langkah-langkah kakiku
di jembatan penyebrangan tersebut. Aku berhenti ditengahnya dan menghadapka
tubuhku kearah barat. Kendaraan-kendaraan berseliweran dibawahku. Membawa
gesekan udara dan mencipta angin melewati jembatan dan diriku. Kuhirup
dalam-dalam udara yang terasa sejuk membelai diriku sembari memejamkan mata.
Tiba-tiba
mataku berkunang. Dunia terasa berputar. Aku membalikkan badan dan bersandar di
pembatas. Sejenak peningku berkurang. Kuputuskan untuk kembali saja. Aku
bangkit dan segera berjalan kembali. Namun peningku kembali. Kali ini lebih
parah. Mataku berkunang-kunang, sebelum akhirnya……………… gelap.
10
Agustus 2035
Byurr…!!!
Reflex
aku menutup mulut dan menahan napas.
Air??
Perlahan
aku mengerjap. Pandanganku agak kabur, namun perlahan-lahan semakin jelas.
Tanaman-tanaman karang menempel dan menari di tiang-tiang dan pembatas besi
jembatan penyebrangan tersebut. Sementara aku sendiri melayang diatas kayu
pijakan jembatan. Kulihat sekeliling. Dunia sudah berubah. Terdapat gedung
tinggi menjulang di tiap sudut persimpangan
Dimana
ini??
Suasana
agak gelap dan suram. Tanaman karang menempel di semua tempat. Namun tak ada
ikan satupun yang terlihat. Kusadari posisiku sudah bergeser cukup jauh dari
tempat semula. Seperti ada arus kecil yang mendorongku bergerak menjauh dari
sana. Aku membalikkan badan. Jalannya agak berubah, tapi aku masih
mengenalinya. Dikiri-kanannya terdapat gedung-gedung besar dan kecil.
Tiba-tiba
aku merasa sesak. Segera aku mengayuh tangan dan kakiku dan bergerak
kepermukaan. Ditengah perjuanganku itu, telingaku menangkap sebuah suara
lenguhan panjang bernada rendah. Reflex kulemparkan pandangan ke sumber suara. Searah
dengan pandanganku, terdapat makhluk berukuran raksasa. Makhluk tersebut
berenang kearahku dengan gaya berenang seekor hiu. Suasana sekitar yang suram
memberiku sedikit penerangan untuk melihat secara jelas makhluk tersebut.
Makhluk tersebut membuka mulutnya yang besar. Dan segera arus air mendorongku
masuk kearahnya mulutnya.
Antara
hidup dan mati, setengah putus asa aku berenang menjauhi mulut menganga
tersebut. Kekuatan arus yang bergerak masuk kemulutnya jauh lebih kuat. Dan
secara perlahan aku tersedot masuk kedalam. Namun tiba-tiba terdengar sebuah
ledakan dan makhluk tersebut mengatupkan mulutnya sembari menariknya menjauh
dariku. Namun gerakan majunya menghempaskanku ketubuh besarnya. Aku
terguling-guling tak menentu disepanjang sisi tubuhnya. Dan sesaat nyaris
terserempet dinding gedung. Aku terhempas menjauh dari makhluk tersebut.
Tiba-tiba ada yang menghentak tubuhku dan menariknya.
BRAKK!!
“Apa
yang kau lakukan didalam lautan!? Sudah bosan hidup, apa!?” bentak sebuah
suara.
Aku
terbatuk saat udara pertama memasuki tenggorokanku. Aku mengerjap dan melihat
sekeliling. Ruangan kecil berlantaikan lempeng besi dengan dinding dan atap
melengkung menyatu membatasi air untuk masuk kedalam. Kusentuhkan jari pada
dinding tak kasat mata tersebut. Dinding air tersebut beriak saat jariku
menyentuhnya.
“Sial!
Dimana makhluk itu!!” seru sebuah suara disampingku.
Kupalingkan
pandangan. Kulihat disana berdiri seseorang dengan uban dikepalanya. Tubuhnya
tinggi kekar. Otot-otot yang bertonjolan di beberapa bagian tubuhnya
mengaburkan kerentanan usianya. Terdapat dua kabel putih yang ujung-ujungnya
menempel pada kedua sisi pelipisnya.
“Dimana
saya? Siapa anda?” tanyaku.
Orang
tersebut setengah berpaling dan berkata, “Sepertinya kau bukan orang sini.”
“Dimana
ini?” tanyaku lagi.
“Kota
Semarang. Semarang lama. Semarang yang tertutup air,” jawabnya pelan sembari
berpaling kembali.
Tertutup
air?? Ribuan tanya terbentuk dibenakku. Namun semua sirna ketika orangtua
tersebut kembali berseru.
“Disana
kau rupanya!!”
Sontak
aku mendongakkan kepala. Ikan raksasa yang sebelumnya menyerangku, kini
berenang dengan cepat kearah kami. Mulutnya segera terbuka lebar menampakkan
sederetan gigi-gigi tajam yang berkilat diterpa lampu penerangan kapal. Arus
masuk segera tercipta dan menarik kapal kedalam mulutnya.
“Pegangan
yang erat!!” seru orangtua tersebut.
Dan
kapal segera bergerak memutar kesamping. Kapal terus berputar-putar menghindari
lahapan mulut raksasa tersebut. Aku terhantam kesisi kanan kapal, namun anehnya
tidak terlempar keluar kapal. Tepat saat mulut makhluk tersebut mengatup, kapal
sudah berada di luar jangkauan. Makhluk tersebut terus berenang maju.
“Takkan
kubiarkan kau lolos!” gumam pria tua tersebut.
Kapal
segera bergerak maju mengikuti makhluk tersebut. Ayunan ekor ikan raksasa
tersebut menciptakan arus yang menahan kecepatan kapal melambat. Kapal bergerak
keatas, kebawah, kesamping, menghindari gelombang yang diciptakan ekor ikan
tersebut. Satu torpedo dilepaskan. Namun tidak mengenai makhluk tersebut.
Torpedo menghantam gedung disisi makhluk tersebut, membuatnya berenang berlawanan
arah dengan ledakan. Kapal terus bergerak mengejar sang ikan dengan kegesitan
luarbiasa.
“Hei!
Bantu aku!” serunya. “Ambil gagang besi di belakang!”
Aku
mengangguk. Diantara gerakan kapal yang tak menentu, keseimbangan merupakan hal
yang sulit untuk dilakukan.
“Bisakah
kau stabilkan dulu benda ini? Aku tak bisa berdiri,” protesku.
“Tak
perlu berdiri. Berbalik saja,” ujarnya.
Dengan
susah payah aku menurutinya. Namun semuanya sia-sia. Yang terjadi hanyalah
badanku yang terbanting kesana kemari. Sepertinya orangtua tersebut akhirnya
simpati juga pada kesusahanku. Segera kapal bergerak menjauhi ekor ikan
tersebut dan dengan cepat kembali bergerak searah dengan arah berenang ikan
tersebut.
“Cepat
lakukan!” bentaknya sembari setengah memalingkan wajahnya.
Walaupun
kecepatan kapal tersebut cenderung tinggi, namun setidaknya aku tidak merasa
kesulitan untuk menuruti kemauannya. Aku membalikkan badan sembari setengah
berdiri. Kulayangkan pandangan menjelajahi dinding logam yang terdapat
dihadapanku. Terdapat dua batang logam yang agak mencuat di kiri dan kanan
dinding tersebut. Kutarik keduanya secara perlahan. Getaran kecil segera
terasa.
“Bagus!
Sekarang cobalah untuk berdiri sambil menghadap kearahku,” katanya.
Dengan
susah payah, aku berbalik dan berdiri menghadapnya. Sekonyong-konyong kurasakan
kedua telapak kakiku di ikat lempeng logam yang terlihat sangat kuat. Lempeng
yang sama mengikat kedua telapak kaki orangtua tersebut. Di balik lantai logam
terlihat sepasang tangan logam. Keduanya menggenggam batang logam, sekitar dua
jengkal panjangnya. Pada ujung batang logam tersebut mencuat tiga batang logam
yang lebih kecil ukurannya namun lebih panjang serta tidak sepenuhnya lurus.
Terdapat lekukan kedalam di bagian tengahnya. Ketiganya bergerak berpilin dan bersamaan
dengan itu muncul garis cahaya dari pangkal logam kecil hingga ujungnya. Garis
sinar tersebut berpilin mengikuti gerak batang-batang logam tersebut.
“Sekarang,
bantu aku mengalahkan makh…… luk itu,” orangtua tersebut tersentak kaget. Ia
melihat kekanan, kekiri, keatas dengan gelisah. “Kemana perginya…”
Kapal
bergerak melambat, dan orangtua tersebut terlihat sangat waspada. Aku yang baru
mengalami situasi seperti ini, takut luarbiasa. Tiba-tiba di kanan dan kiriku
terdapat gelembung-gelembung arus yang bergerak kebawah. Sebegitu kuat arusnya
hingga dengan cepat menarik kapal kebawah. Orangtua tersebut menggerakkan kapal
hingga hidung kapal mengarah kepermukaan. Taring-taring besar makhluk tersebut
segera terlihat di kanan dan kiri kapal. Melesat dari kapal dua kawat dan
menancap di dua ujung gedung tinggi. Dengan segera kapal bergerak menjauhi
mulut makhluk tersebut dengan kecepatan yang luarbiasa.
Kapal
terus bergerak kepermukaan dengan bantuan pendorong dan daya tarik kawat baja. Kawat
tadi telah kembali ke badan kapal. Tiba-tiba kapal berhenti dan berbalik dengan
cepat. Jauh dibawah sana masih terdapat ikan raksasa yang memburu kami. Makhluk
tersebut dalam keadaan diam. Namun makhluk tersebut segera meluncur kearah
kapal.
“Bersiaplah,”
ujar orangtua tersebut.
Jarak
kapal dengan ikan tersebut semakin dekat. Seperti ada gelembung-gelembung kecil
berkumpul di seluruh permukaan kulit makhluk tersebut. Dua torpedo di
tembakkan. Tiba-tiba gelembung-gelembung tersebut menghilang. Seperti tersedot
masuk kedalam tubuh ikan tersebut. Tak berapa lama makhluk tersebut menembakkan
gelombang dari keempat membran di sekitar mulutnya. Gelombang tersebut
membelokkan gerak torpedo menjauh darinya.
Kapal
segera melesat maju.
“Hei!
Bantu aku mengatasi gelombang itu!” seru orangtua tersebut agak gugup.
Namun
aku tak lagi dapat mendengar sekitar. Keadaan kalut ini menyebabkan jantungku
berdegup cepat. Memompa adrenalin hingga tingkat membahayakan bagi tubuhku. Sesaat
sebelum benturan terjadi. Semua menjadi sunyi. Gelap segera menyergap.
BRAKK!!
Aku
terlempar kebelakang. Sudah tak terasa lagi dinding baja di belakangku. Sudah tak
terasa lagi ke-solid-an dinding sekitarku. Sudah selesai pikiranku pada monster
itu. Otakku terlalu lemah untuk berkompromi. Semua ketidakpastian mengepung
tanpa ragu seiring senyap yang kian pengap. Mungkin inilah akhirnya.